8 Nov 2007

Sejarah2 Tangerang

Daan Mogot

Akademi Militer Tangerang diprakarsai oleh seorang pemuda bernama Daan Mogot pada tanggal 5 Nopember 1945. Beliau kemudian dilantik menjadi direktur pertama.

Daan Mogot gugur dalam "Peristiwa Lengkong." Peristiwa ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan perlucutan senjata pasukan Jepang di berbagai daerah, namun satu-satunya yang berakhir dengan jatuhnya korban dalam jumlah besar.

Perlucutan senjata dan pemulangan tentara Jepang ditempuh berdasarkan kesepakatan 30 Nopember 1945 antara pemerintah RI dan pasukan sekutu. Usai salat Jumat, 25 Januari 1946, sepasukan taruna Akademi Militer Tangerang dan tiga perwira Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berangkat menuju Lengkong, Serpong, menumpang tiga truk dan sebuah jip militer dari Resimen IV Tangerang.

Mereka tiba di markas Jepang di Lengkong pukul 16.00. Tugas damai itu mulanya lancar-lancar saja. Di luar dugaan, pasukan TKR dan taruna diberondong tembakan dari pos-pos mitraliur tersembunyi.

Pertempuran berlangsung singkat dan tak seimbang. Akhirnya, 33 taruna dan tiga perwira gugur, yakni Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo, Letnan Soetopo, dan Mayor Daan Mogot. Seorang perwira lainnya, Mayor Wibowo, menjadi tahanan pasukan Jepang. Lebih dari 10 taruna luka berat dan 20 lainnya ditawan, hanya tiga taruna yang berhasil lolos dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang keesokan harinya.

PERANG LENGKONG

25 Januari 1947
Tanggal 25 Januari 1946 Pertempuran Lengkong. Kekalahan Jepang atas Sekutu meninggalkan satu kompi pasukannya di Lengkong, Serpong, Tangerang. Mereka bertahan di Lengkong sambil menunggu saat pemulangan mereka kembali ke tanah airnya. Seperti juga kesatuan-kesatuan TKR lainnya, desa Lengkong yang menjadi bagian wilayah Resimen IV Komandemen I TRI Jawa Barat pimpinan Letnan Kolonel Singgih pasca menyerahnyaJepang kepada Sekutu bermaksud melucuti senjata pasukan Jepang. Tugas perlucutan senjata selanjutnya akan dilaksanakan oleh Taruna Akademi Militer Tangerang. Pada tahap pertama perlucutan berjalan lancar. Dengan mempergunakan 8 orang tawanan tentara Sekutu/India sebagai sandera, pasukan taruna berhasil masuk ke dalam pertahanan pihak Jepang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar sebuah letusan yang tidak diketahui asalnya, sehingga menyebabkan keadaan berubah menjadi tegang untuk kemudian meledak menjadi pertempuran yang sengit. Sementara itu Mayor Daan Mogot, Direktur Akademi Militer Tangerang yang sedang mengadakan perundingan dengan Kapten Abe, Komandan pasukan Jepang di Lengkong, segera meninggalkan ruangan perundingan untuk menghentikan pertempuran, tetapi usahanya sia-sia. Ia kemudian bergabung dengan pasukan taruna. Pertempuran berjalan tidak seimbang dan berakhir dengan gugurnya Mayor Daan Mogot. Dalam pertempuran tersebutkorban di pihak taruna sebanyak 37 orang gugur dan 35 orang tertawan. Hanya tiga orang yang berhasil menyelamatkan diri. Setelah mengetahui terjadinya pertempuran itu, Resimen IV bermaksud mengadakan serangan balasan, tetapi kemudian dibatalkan karena mengkhawatirkan nasib para taruna yang masih ditawan Jepang. Pada tanggal 27 Januari 1946 diadakan pertemuan antara pihak Jepang dan Indonesia. Dalam pertemuan itu dicapai kesepakatan bahwa pihak Jepang akan membebaskan tawanan, menyerahkan jenazah para taruna dan mengembalikan senjata milik TRI yang jatuh ke tangan mereka. Pada tanggal 28 Januari 1946 jenazah para taruna dipindahkan ke pemakaman-pemakaman dekat Markas Resimen IV, yang kini dikenal sebagai Taman Pahlawan Tangerang dengan suatu upacara militer.

Perang Lengkong Akan Diperingati Secara Nasional
Minggu, 29 Januari 2006 | 22:52 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:
Peristiwa pertempuran Lengkong akan dijadikan sebagai hari bakti taruna dan diperingati secara nasional.
"Pristiwa Lengkong itu sangat heroik dan jumlah perwira yang menjadi korban cukup banyak," ujar Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Djoko Santoso dalam peringatan ke 60 tahun peristiwa pertempuran Lengkong, di Monumen Lengkong, Serpong, Tangerang, Minggu (29/1)

Peristiwa pertempuran antara puluhan perwira dari Akademi Militer Tangerang dengan tentara Jepang itu berlangsung pada 25 Januari 1946. Lokasinya berada di Desa Lengkong Wetan. Menurut Djoko, peristiwa itu menewaskan para taruna bangsa dari berbagai suku, sehingga mencerminkan Bhineka Tunggal Ika. "Setelah dibicarakan dengan sesepuh militer, disepakati akan diperingati sebagai hari bakti taruna," katanya.

Pertempuran Lengkong telah menewaskan 34 taruna dari militer Indonesia yang saat itu dipimpin Mayor Daan Mogot. Pertempuran yang tidak seimbang di kebun karet Desa Lengkong, Daan Mogot gugur. Lebih dari 10 orang luka berat dan lebih dari 20 taruna beserta Mayor Wibowo ditawan.

peringatan Pertempuran Lengkong juga dihadiri mantan wakil presiden Tri Sutrisno, Prabowo Subianto, bekas Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal (Pur) Agustadi Sasongko Poernomo, Bupati Tangerang Ismet Iskandar dan para veteran perang.

Sejarah kabupaten Tangerang

Kabupaten Tangerang sejak ratusan tahun lalu sudah menjadi daerah perlintasan perniagaan, perhubungan sosial dan interaksi antardaerah lain. Hal ini, disebabkan letak daerah ini yang berada di dua poros pusat perniagaan Jakarta - Banten.

Berdasarkan catatan sejarah, daerah ini sarat dengan konflik kepentingan perniagaan dan kekuasaan wilayah antara Kesultanan Banten dengan Penjajah Belanda.

Secara tutur-tinular, masa pemerintahan pertama secara sistematis yang bisa diungkapkan di daerah dataran ini, adalah saat Kesultanan Banten yang terus terdesak agresi penjajah Belanda lalu mengutus tiga maulananya yang berpangkat aria untuk membuat perkampungan pertahanan di Tangerang.

Ketiga maulana itu adalah Maulana Yudanegara, Wangsakerta dan SAntika. Konon, basis pertahanan merka berada di garis pertahanan ideal yang kini disebut kawasan Tigaraksa dan membentuk suatu pemerintahan. Sebab itu, di legenda rakyat cikal-bakal Kabupaten Tangerang adalah Tigaraksasa [sebutan Tigaraksasa, diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga maulana sebagai tiga pimpinan = tiangtiga = Tigaraksa].

Pemerintahan ketiga maulana ini, pada akhirnya dapat ditumbangkan dan seluruh wilayah pemerintahannya dikuasai Belanda, berdasar catatan sejarah terjadi tahun 1684. Berdasar catatan pada masa ini pun, lahir sebutan kota Tangerang. Sebutan Tangerang lahir ketika Pangeran Soegri, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten membangun tugu prasasti di bagian barat Sungai Cisadane [diyakini di kampung Gerendeng, kini].

Tugu itu disebut masyarakat waktu itu dengan Tangerang [bahasa Sunda=tanda] memuat prasasti dalam bahasa Arab Gundul Jawa Kuno, "Bismillah peget Ingkang Gusti/Diningsun juput parenah kala Sabtu/Ping Gangsal Sapar Tahun Wau/ Rengsenaperang netek Nangeran/Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian/Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang"

Arti tulisan prasasti itu adalah: "Dengan nama Allah tetap Yang Maha Kuasa/Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu/Tanggal 5 Sapar Tahun Wau/Sesudah perang kita memancangkan tugu/Untuk mempertahankan batas timur Cipamugas [Cisadae] dan barat Cidurian/ Semua menjaga tanah kaum Parahyang"
Diperkirakan sebutan Tangeran, lalu lama-kelamaan berubah sebutan menjadi Tangerang.

Desakan pasukan Belanda semakin menjadi-jadi di Banten sehingga memaksa dibuatnya perjanjian antar kedua belah pihak pada 17 April 1684 yang menjadikan daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Penjajah Belanda. Sebagai wujud kekuasaannya, Belanda pun membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Banten dengan dibawah pimpinan seorang bupati.

Para bupati yang sempat memimpin Kabupaten Tangerang periode tahun 1682 - 1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII. Setelah keturunan Aria Soetadilaga dinilai tak mampu lagi memerintah kabupaten Tangerang dengan baik, akhirnya penjajah Belanda menghapus pemerintahan di daerah ini dan memindahkan pusat pemerintahan ke Jakarta.
Lalu, dibuat kebijakan sebagian tanah di daerah itu dijual kepada orang-orang kaya di Jakarta, sebagian besarnya adalah orang-orang Cina kaya sehingga lahir masa tuan tanah di Tangerang.

Pada 8 Maret 1942, Pemerintahan Penjajah Belanda berakhir di gantikan Pemerintahan Penjajah Jepang. Namun terjadi serangan sekutu yang mendesak Jepang di berbagai tempat, sebab itu Pemerintahan Militer Jepang mulai memikirkan pengerahan pemuda-pemuda Indonesia guna membantu usaha pertahanan mereka sejak kekalahan armadanya di dekat Mid-way dan Kepulauan Solomon.

Kemudian pada tanggal 29 April 1943 dibentuklah beberapa organisasi militer, diantaranya yang terpenting ialah Keibodan [barisan bantu polisi] dan Seinendan [barisan pemuda]. Disusul pemindahan kedudukan Pemerintahan Jakarta Ken ke Tangerang dipimpin oleh Kentyo M Atik Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah Gubernur Djawa Madoera. Adapun Tangerang pada waktu itu masih berstatus Gun atau kewedanan berstatus ken (kabupaten).

Berdasar Kan Po No. 34/2604 yang menyangkut pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang, maka Panitia Hari Jadi Kabupaten Tangerang menetapkan terbentuknya pemerintahan di Kabupaten Tangerang. Sebab itu , kelahiran pemerintahan daerah ini adalah pada tanggal 27 Desember 1943. Selanjutnya penetapan ini dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang Nomor 18 Tahun 1984 tertanggal 25 Oktober 1984.

Dalam masa-masa proklamasi, telah terjadi beberpa peristiwa besar yang melibatkan tentara dan rakyat Kabupaten Tangerang dengan pasukan Jepang dan Belanda, yaitu Pertempuran Lengkong dan Pertempuran Serpong.

Pertumbuhan perekonomian Kabupaten Tangerang sebagai daerah lintasan dan berdekatan dengan Ibukota Negara Jakarta melesat pesat. Apalagi setelah diterbitkannya Inpres No.13 Tahun 1976 tentang pengembangan Jabotabek, di mana kabupaten Tangerang menjadi daerah penyanggah DKI Jakarta.

Tanggal 28 Pebruari 1993 terbit UU No. 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kota Tangerang. Berdasarkan UU ini wilayah Kota Administratif Tangerang dibentuk menjadi daerah otonomi Kota Tangerang, yang lepas dari Kabupaten Tangerang. Berkaitan itu terbit pula Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1995 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Dati II Tangerang dari Wilayah Kotamadya Dati II Tangerang ke Kecamatan Tigaraksa.

Akhirnya, pada awal tahun 2000, pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang pun di pindahkan Bupati H. Agus Djunara ke Ibukota Tigaraksa. Pemindahan ini dinilai strategis dalam upaya memajukan daerah karena bertepatan dengan penerapan otonomi daerah, diberlakukannya perimbangan keuangan pusat dan daerah, adanya revisi pajak dan retribusi daerah, serta terbentuknya Propinsi Banten.